Hikayat Antu Ayek
Hikayat Antu Ayek
(Mohammad Sifaur R)
Sumatera Selatan dikenal juga dengan sebutan Sungai
Batang Hari Sembilan. Pengambilan nama Batang Hari Sembilan itu sebenarnya
mengikut ke pada adanya 9 anak sungai Musi . Sungai terbesar di daerah
ini yang membelah kota Palembang menjadi dua bagian. Sebutan Batanghari
Sembilan adalah suatu istilah tradisional untuk menyebut sembilan
buah sungai besar yang merupakan anak Sungai Musi, yakni : Klingi, Bliti,
Lakitan, Rawas, Rupit, Lematang, Leko, Ogan, dan Komering.
Karena hampir semua wilayah di lalui sungai,
kebudayaan sungai sangat akrab dengan masyarakat asli daerah ini. Di
beberapa wilayah (dusun) bahkan mengandalkan aiiran sungai untuk kebutuhan air
bersih sehari-hari. Ini dapat ditunjukkan dari kebiasaan masyarakat di
sekitar sungai yang mencuci baju dan membersihkan badan pada pagi dan sore
hari. Tidak heran jika kita melintas di sepanjang aliran sungai pada
waktu-waktu tersebut terlihat pemandangan yang kental dengan masyarakat
di tepi sungai. Penduduk yang menggunakan kemban sedang beraktifitas di
pinggiran sungai. Kalau kita amati lebih jeli lagi, kemban yang mereka
kenakan juga seragam bentuk dan ukurannya. Kemban putih yang sudah berubah
warna menjadi kecoklatan dengan bertuliskan Segi Tiga Biru. Kebiasaan ini mendtradisi
sampai sekarang pada masyarakat asli yang berjajar di pinggir sungai.
Meskipun
Sumatera Selatan dikenal dengan daerah yang dikelilingi oleh
Sembilan aliran sungai, saat kemarau masyarakat di sekitarnya tetap kekurangan
air bersih. Terutama masyarakat yang tinggal di perkebunan atau perumahan. Tak
pelak lagi, untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka mengandalkan aliran
sungai terdekat terutama kebutuhan mandi dan mencuci pakaian yang
biasanya mereka lakukan langsung di sungai seperti halnya masyarakat di
sepanjang aliran sungai.
Seperti
yang telah dilakukan oleh pemda setempat, untuk mengantisifasi
kondisi musim kemarau yang hampir setiap tahun melanda warga Kabupaten Lahat,
pemerintah setempat menyediakan sarana tempat mencuci yang dibuat dari pondasi
yang kokoh dari semen yang dipelur rapi dan disediakan tangga untuk turunan ke
sungai, persis di bawah jembatan baru Sungai Lematang.
Begitu
akrabnya masyarakat di sini dengan kehidupan sungai, sehingga melahirkan
berbagai budaya termasuk diantaranya cerita rakyat yang berkembang di
masyarakat sekitar sungai.
*****
“Nyiseh
kau Juani……nyiseh kau Juani….. Bujang Juandan nak ke ayek. (Nyingkir
kau Juani….Bujang Juandan mau ke sungai) Ucapkan sepuluh kali. Ame
kaba nak ke ayek (Jika kalian hendak ke sungai). Mangke dide diganggu
Antu Ayek (Biar tidak diganngu hantu sungai).” Demikian mantra
yang diajarkan oleh orang-orang tua dusun kami, ketika anak-anak mereka
hendak pergi ke Kali Puntang atau ke Sungai Lematang , terutama mereka yang
tidak terlalu akrab dengan kehidupan sungai.
Mantra ini
konon dipercaya mampu menakut-nakuti Hantu Ayek, hantu penunggu sungai
yang kerap meminta korban terutama anak laki-laki setiap tahunnya karena
ingin membalas dendam.
Kepercayaan
masyarakat dusun tentang keberadaan hantu Ayek diperkuat dengan adanya korban
yang hanyut di sungai ketika anak-anak mandi beramai-ramai, tiba-tiba
ada satu diantara mereka yang menghilang dan ditemukan setelah tidak
bernyawa. Kemarau belum berakhir jika sungai yang ada di wilayah mereka
belum memakan korban. Peristiwa ini selalu terjadi setiap tahunnya.
Jika belum ada yang meninggal karena terseret arus sungai yang cenderung
begitu tenang, anak-anak yang hendak berenang atau mandi di sungai ketika musim
kemarau di ajarkan mantra ini sebagai perlindungan diri. Konon dipercaya hantu
ayek tidak akan mengganggu atau mengambil orang yang menyebut nama Bujang
Juandan.
Untuk lebih
jelasnya tentang mantra dan hikayat Hantu Ayek yang berkembang dari mulut
ke mulut, akan saya ceritakan kembali hikayat tersebut disini.
Konon menurut cerita yang berkembang. Dahulu kala di wilayah Sumatera
Selatan, hiduplah seorang gadis dari keluarga sederhana bernama Juani. Gadis
remaja yang hadir ditengah-tengah keluarga petani yang hidup di sekitar
aliran sungai.
Juani dikenal masyarakat sekitar sampai ke dusun-dusun tetanga sebagai
gadis kampung yang cantik jelita, ayu dan berparas menyenagkan bagi orang
yang memandangnya. Tidak seperti gadis dusun asli pada umumnya yang berkulit
putih pucat, Juani justru berkulit kuning langsat seperti putri-putri
dari kalangan kerajaan. Kulinya halus dan mulus tanpa ada gorengan sedikitpun
di tubuhnya.
Juani memilik rambut yang hitam legam dan lebat. Seperti umumnya gadis
dusun, Juani memelihara rambutnya ini dengan membiarkannnya panjang. Dengan
rambutnya yang panjang dan kerap terurai, semakin menambah keelokan
paras Juani.
Tidak hanya itu, selain rupa yang menawan, Juani juga dikaruniai badan yang
molek semampai. Jika Juani berangkat mandi ke sungai selalu membuat orang
melirik dan terkagum-kagum akan kesempurnaan dirinya. Benar-benar bak gadis
bangsawan meskipun dengan tampilan yang sederhana tanpa polesan.
Karena kecantikan Juani telah terkenal di kalangan masyarakat,
Jangankan mereka yang masih bujangan, mereka yang beristripun ingin
mempersuntingnya. Wajar kiranya jika setiap kaum adam yang melihatnya
mempunyai mimpi untuk bisa duduk bersanding dengan Juani di
Pelaminan.
Sadar akan kecantikan yang dimilikinya, Juani tidak sembarangan dalam
memilih pujaan hatinya. Ia mempunyai kriteria-kriteria khusus dalam memilih
pasangan. Setiap bujang yang bertandang untuk melamarnya selalu ia tolak dengan
berbagai alasan. Setiap orang tua yang datang untuk memintanya menjadi menantu
di keluarganya, pulang dengan kekecewaan. Gadis Juani belum mau menentukan
pilihan hati kepada satu bujang pun di kampungnya yang berniat untuk
meminangnya.
“ Kengape pule kaba ni Juani (kenapa kau Juani), jeme betandang nak
berasan kaba tolak gale (orang datang hendak meinang kau tolak semua).”
Ujar ibu Juani pada suatu kesempatan ketika mereka sedang bersantai
“ Kageklah Mak, belum ade yang cocok. (nantilah bu, belum ada yang
cocok)” Jawab Juani singkat
“Dimak tegajul kaba tu, mileh-mileh ka dide kepileh (Jangan sampai
kecele, milih-milih malah tidak ada yang memilih nantinya). Jadi
gadis tue pule (jadi gadis tua nanti).” Oceh ibunya lagi
“Iyo Mak, gek dipikirke (iya bu, nanti saya pikirkan)” Jawab Juani
singkat
Hingga pada suatu saat, kemarau panjang melanda desanya. Tak tanggung-tanggung,
semua perkebunan kering kerontang kekurangan air. Semua tanaman gagal panen.
Masyarakat yang bergantung pada hasil bumi tidak mempunyai penghasilan lagi.
Musim paceklik di mana-mana.
Bapak Gadis Juani yang hidupnya bergantung dari hasil bumi tidak sanggup
lagi memenuhi kebutuhan keluarganya karena hasil tanamannya gagal semua. Pohon
kopi yang menjadi sandaran utama keluarga itu bunganya rontok dan tidak bisa
menjadi buah. Sayur mayur yang ditanam tidak bisa tumbuh. Sehingga kebutuhan
makan yang sehari-hari mengandalkan hasil menjual sayur mayurnya tidak bisa
diharapkan lagi. Kemarau ini berlangsung cukup lama, sampai-sampai tanah
perkebunan mereka pecah-pecah karena kekurangan air. Tak ada lagi yang bisa di
makan dari hasil kebunnya ini.
Kondisi yang seperti ini, memaksa bapak Gadis Juani terlibat hutang dengan
rentenir yang kaya raya di kampungnya. Uang yang mereka pinjam kian dari kian
bertambah dan belum ada hasil kebun yang bisa dijual untuk membayarnya.
Akibatnya hutang mereka kian menumpuk karena modal dan bungan pinjaman yang
belum bisa dibayar.
“Kapan kaba ka nyicil utang tu mang (Kapan kamu akan menyicil hutangmu)?
Utang lame belum di bayar, nak pinjem duit lagi (Hutang lama saja belum
dibayar, mau pinjem lagi). Pake apo mbayarnyo (Pakai apa membayarnya)?.”
Ujar Rentenir keliling yang kerap dipinjami uang oleh bapak Juani
akhir-akhir ini.
“Kageklah, kemarau masih lanjut (nantilah, kemarau belum usai).
Katek hasil kebon yang biso ku jual (tidak ada hasil kebun yang bisa saya
jual). Nak dapet duit dari mano awak nih (mau dapat uang dari mana aku).
Amo la musim penghujan, biso panen lagi (kalau sudah musim hujan lagi,bisa
panen). Pacak bejual ke kalangan (Bisa berjualan di pasar sepekan).
Biso kucicil utang tu (bisa kucicil hutang-hutangku).” Ujar bapak Juani
member alasan.
“Biso diatur kalo bayar utang tuh, amo nak nambah duit jugo biso (Bisa
diatur soal pembayaran hutan, mau nambah uang juga bisa). Ado syaratnyo
tapi (hanya saya ada syaratnya)?” sambung renternir itu memberikan
alternatif
“Apo itu (apa itu)?” tanya bapak Juani singkat
“Kawenkan anak gadis kabatu dengan bujang kami (Nikahkan anak gadismu
dengan anak laki-laki kami). Lunas utang-utang kamu berikut bungonyo (Lunas
semua hutang-hutamu berikut bunganya).” Ujar rentenir itu mengutarakan
maksudnya
“Amo itu, bukan aku yang jawab (Kalau itu, aku tidak bisa menjawab).
Ku tanyoke dulu nga budak tu (kutanyakan dulu pada anakku dulu).”
Jawab bapak Juani yang sedikit terkaget dengan ide gila rentenir itu.
“Terserah kaba (Terserah kamu). Bayar utang samo bungonyo sekarang
apo kawenke gadis kamu tu dengan anak aku (Bayar hutang berikut bunganya
sekarang atau nikahkan anakmu dengan anakku). Sebelum ado jawaban, dak
katek pinjeman tambahan (Sebelum ada jawaban, tidak ada lagi pinjaman).”
Tambahnya lagi sambil meninggalkan bapak Juani.
Dengan sangat terpaksa, bapak Gadis Juani akhirnya menerima
tawaran dari rentenir itu untuk menikahkan anaknya dengan anak rentenir itu
yang bernama Bujang Juandan. Bujang Juandan adalah putra satu-satunya
dari keluarga rentenir yang kaya raya itu. Pemuda yang bisa disebut
sudah sangat cukup umur untuk menikah di dusunnya karena umurnya yang sudah
berkepala tiga.
Meskipun putrinya dipinang oleh keluarga yang kaya raya, tak menjadikan
bapak Juani bahagia. Bujang Juandan yang akan menjadi menantunya itu
bukanlah pemuda tampan. Bukan itu saja, selain dikenal pemuda yang buruk rupa
di kampungnya, Bujang Juandan juga menderita penyakit kulit di sekujur
tubuhnya, yang tidak pernah bisa disembukan sejak kecil. Sehingga
orang-orang menyebutnya Bujang Kurap.
Mendengar kabar pinangan bapak Bujang Kurap, Gadis Juani pun bersedih hati.
Ingin menolak namun tak kuasa karena kasihan kepada bapaknya. Setiap
ditagih hutang dan belum bisa membayar selalu di marah-marah oleh rentenir itu.
Kecintaan ia pada orang tuanya memyebabkan ia pasrah tentang perjodohan itu.
“Amo kaba keberatan, bapak dak makso nak (Jika engkau keberatan, bapak
tidak memaksa nak). Kaba anak bapak sutek-sutek’e (Kamu anak bapak
satu-satunya). Apo bae yang kau minta pasti bapak pilok’i (Apa yang kamu
mau, pasti bapak ikuti). Utang kito biso dicicil kalo la musim ujan kagek (Hutang
bisa kita cicil jiga sudah musim penghujan lagi). Sementaro ini kito tahan
laper (Sementara ini kita tahan lapar). Makan apo yang maseh biso di makan nak (Makan
apa yang masih bisa kita makan)” Jelas bapak Juani degan sangat hati-hati
saat mengutarakan keinginan rentenir itu pada anak gadisnya.
“Idak pak, apo bae pasti Juani kasih buat bapak (Tidak pak, apa saja
akan Juani jalani untuk bapak). Kalo memang itu yang biso bikin bapak lepas
dari tumpukan utang, Juani iklas (Jika itu yang bisa membebaskan bapak dari
hutang, Juani Iklas).” Ujar Juani meyakinkan bapaknya.
Berhari-hari ia menangisi nasibnya yang begitu malang. Kenapa tidak dari
dulu ia menerima pinangan pemuda yang datang. Kesombongannya, kebanggaannya
pada kecantikan yang dimilikinya justru berbuah celaka. Apa hendak di kata, tak
ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu. Gadis Juani hanya bisa
menyesali keangkuhannya selama ini.
Air mata yang keluar tak bisa mengubah keadaan. Rencana pernikahan
merekapun telah dipersiapkan secara matang. Sebagai anak satu-satunya dari
keluarga yang kaya raya, membuat bapak Bujang Juanda menggelar pesta secara
besar-besaran. Selain senang akan anaknya yang telah menemukan jodohnya, calon
istri putranya itu adalah gadis paling cantik di seantora dusun.
Pesta pernikahan pun dipersiapkan dengan matang. Sesuai adat dusun
setempat, seminggu sebelum perayaan, orang-orang sekampung ikut sibuk di rumah
Gadis Juani sebagai calon mempelai perempuan. Bujang Gadis di dusun pun tak
kentinggalan, mereka siang dan malam membatu segala persiapan mulai dari tempat
yang nyaman untuk undangan hingga hidangan untuk santapan. Suasana yang
penuh suka cita dan dijadikan ajang silaturahmi oleh warga dusun ini tidak
menjadikan Juani gembira. Ia tetap mengurung dirinya di kamar.
Waktu yang paling dinantikan Bujang Juandan pun tiba. Tibalah malam
perkawinan yang telah ditentukan bagi keduanya. Gadis Juani yang cantik itu
dirias secantik mungkin dan mengenakan pakaian pengantin yang begitu
anggun. Orang yang melihatnya dengan pakaian pengantin itu terkagum-kagum.
“Begitu beruntungnya si Bujang Kurap Itu. Berjodoh dengan kembang desa yang
begitu mempesona. Apa hendak di kata, kalau bukan takdir yang mempertemukan
mereka” begitu bisik-bisik orang yang melihat Gadis Juani. Tentu saja
pandangan mereka penuh dengan rasa iba dan kasihan.
Usai di rias, Gadis Juani menunggu di kamar tidurnya. Semua keluarga yang
hadir menunggu kedatangan calon mempelai di ruang tamu. Di panggung depan juga
ramai bujang gadis yang sedang bercengkrama dan warga sekitar yang ingin
menghadiri pernikahan. Gadis Juani tetap di kamarnya dan tak ingin
ditemani siapapun. Ia terdiam di tempat tidurnya yang sudah dihias
dan bertabur aneka bunga sambil berurai air mata.
Dari kejauhan terdengar arak-arakan pengantin pria. Sanak keluarga dan tamu
yang ada di kediaman Juani bersiap-siap menyambut kedatangan besan. Semua yang
berada di rumah panggung ciri khas penduduk dusun, turun menyambut
arak-arakan rombongan Bujang Juandan. Mendapati ketegangan bercampur
kegembiraan semua orang yang ada di sekitarnya membuat hati Gadis Juani semakin
hancur.
Di tengah kesibukan orang menyambut arakan yang kian mendekat,
kekalutan Gadis Juanipun kian menjadi. Tak bisa ia berdiam diri
atas semua ini. Terbayang olehnya cibiran semua orang ketika ia bersanding
dengan Bujang Juandan di pelaminan. Sebagian dari mereka yang pernah ditolak
pinangannya mungkin akan bersorak atas jodoh pilihan orang tuanya. “Berharap
mendapat durian yang paling manis, malah mendapat tempoyak yang masam”
begitulah perumpamaan yang tepat untuk dirinya.
Ia juga tak kuasa melihat tatapan iba dari keluarga dan orang tuanya.
Belakangan ini, ketika orang sibuk mempersiapkan pernikahan anaknya, Gadis
Juani menagkap kesedihan yang mendalam dari muka bapaknya. Bapak mungkin tak
punya pilihan, seperti halnya dirinya. “Kasian bapak, akibat ulahku selama ini,
bukan saja aku yang menanggung malu. Bapak juga ikut merasakan murka dari yang
maha agung atas sikapku selama ini” isak Gadis Juani makin menjadi.
Sekejap, terlintas sebuah keputusan, dengan berurai air mata yang kian tak
terbendung, ia keluar lewat pintu belakang. Menuruni anak tangga yang terbuat
dari bulatan kayu. Meskipun dengan berpakaian pengantin yang lengkap dan
membuat langkahnya tak begitu leluasa. Gadis Juani tetap berlari
menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya dengan telanjang kaki. Tak ada yang
sadar akan kepergiannya. Semua sedang bersuka ria menyambut calon suaminya.
Gadis Juani menghentikan langkahnya di bibir sungai yang curam. Ia
memandang kedalam sungai yang ada di bawahnya. Airnya yang begitu jernih
terlihat di bawah sinaran bulan purnama. Terbayang raut muka suaminya yang
begitu buruk dengan kulit yang dipenuhi kurap. Apalah artinya hidup dengan
kemewahan yang berllimpah jika ia sendiri tak sudi hidup dengan bujang kurap
yang ditakuti anak-anak dan menjadi bahan ledekan mereka. Membayangkan semua
itu, akhirnya dengan berurai air mata Gadis Juani pun mengakhiri hidupnya
dengan terjun ke sungai.
Kepergiannya baru disadari ketika pengantin laki-laki tiba dan orang
tuanya ke atas menjemput anaknya. Mendapati kamarnya yang kosong dan
pintu belakang terbuka, membuat ibunya berteriak dan mengundang perhatian semua
orang yang berada di sana. Bapak Gadis Juani yang diikuti ibu dan para tamu
lainnya segera berlari menuju sungai. Mereka berteriak memanggil calon
penganti.
“Juani….Juani…dimane kaba, nak (dimana kamu,nak)?” teriak bapaknya
sekeras-kerasnya
“Juani, jangan nekad nak, pacak kite rembuk’a ame kamu berubah pikiran (bisa
kita bicarakan kalau kamu berubah pikiran). Umak dide ke makes kaba nak (Ibu
tidak akan memaksa kamu nak)!” teriak ibunya tak kalah histeris.
Tak ada sahutan dari putrinya. Sungai disekitar mereka begitu tenang
dengan sejuta misteri di dalamnya. Pencarian pun sia-sia. Menjelang tengah
malam satu persatu warga meminta diri pada orang tua Gadis Juani. Keluarga
mempelai laki-laki juga melakukan hal yang sama. Mereka pulang dengan perasaan
sedih dan penuh kecewa. Orang tua dan beberapa sanak keluarga tetap melanjutkan
pencaria. Menyisiri tepi sungai dengan tak henti-hentinya memanggil nama gadis
itu. Ketika matahari menampakkan sinarnya, mereka baru memutuskan untuk kembali
ke rumah untuk istirahat.
Dua hari pencarian tidak membuahkan hasil. Tak ada kabar dari hilir sungai
tetang temuan mayat. Meyakinkan kedua orang tuanya bahwa anaknya
baik-baik saja. Usaha bapak Gadis Juani untuk menemukan anaknya tetap
diteruskan hingga beberapa dusun di pinggiran aliran sungai. Tak lupa ia
menanyakan pada warga dusun yang disinggahi prihal penemuan orang di sungai.
Dihari ketiga pencarian, ketika bapak Gadis Juani yang ditemani dua
keluarga terdekanyat melintas di pasar kalangan. Warga yang sedang belanja bercerita
kepada pedagang yang berasal dari luar dusun, prihal ditemukannya mayat
perempuan tak dikenal. Lemas seketika si bapak mendengar berita itu. Setelah
mencari kepastian tentang apa yang didengarnya itu, ia meminta izin pada warga
setempat untuk membongkar makam perempuan yang tak mereka kenal itu. Benar
saja, setelah makam itu di gali ia masih mengenali anak gadisnya itu meskipun
sekujur tubuhnya membengkak dan mulai membusuk. Isak tangis bapak Gadis
Juani tak terbendung, begitu juga kedua orang yang menemaninya.
Kematiannya yang penuh derita menjadi buah pembicaraan warga hingga ke
dusun tetangga. Sejak peristiwa itu, konon selalu terdengar suara tangis
seorang gadis saat bulan purnama yang berasal dari sungai. Warga setempat
meyakini itu adalah tangis Gadis Juani yang menjadi arwah penunggu
sungai. Wargapun menyebutnya sebagai Antu Ayek. Setiap tahunnya
arwah ini selalu mencari korban, terutama anak-anak anak laki-laki.
Komentar
Posting Komentar