Hikayat Hang Tuah ( Sindi Lestari X RPl 3 )
Hikayat Hang Tuah
(Sindi Lestari X RPL 3)
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak dari Hang Mahmud. Mereka tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di sungai Duyung mendengar kabar tentang Teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya. Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu, “Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang sungguh besar, apalagi kita ini adalah orang miskin. Lebih mudah kita mencari pekerjaan disana”. Esok harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk kebutuhan sehari-hari.
Datanglah seorang pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang terluka bahkan mati karena ulah pemberontak. Gemparlah negeri Bintan tersebut dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seseorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah. “Hai Hang Tuah, kau akan mati jika tidak masuk ke kampung?” Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu, “Negeri ini memiliki prajurit yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya”.
Pemberontak yang datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah mengayunkan kapaknya ke kepala pemberontak, terbelah kepala pemberontak itu hingga mati. Maka seseorang yang menyaksikan peristiwa itu berteriak, “Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya kedatangan Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai lain yang iri hati pada Hang Tuah. Datanglah mereka pada sang Raja setelah diskusi usai.
Maka saat Baginda Raja mulai duduk di tahtanya bersama para bawahannya. Tumenggung beserta beberapa kawannya yang lain datang sambil berlutut.
Sambil bercerita bahwa kala itu pegawainya melihat Hang Tuah tengah bersama seorang gadis di istana yang mereka merencanakan sesuatu untuk kerajaan. Perempuan itu bernama Dang Setia.
Hamba takut ia akan melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba datang dengan dikawal untuk mengawasi. Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,”Pergilah, singkirkan ia.”
Maka Hang Tuah tidak lagi pernah terdengar di dalam negeri itu, namun Hang Tuah tidak pernah mati, karena selain perwira besar, ia adalah wali Allah. Kabarnya saat ini Hang Tuah berada di puncak dulu sungai Perak. Disana dirinya duduk menjadi raja dari segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyakan orang itu dan dia berkata,” Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”
“Saya tidak ingin mempunyai istri lagi, jawabnya.
(Sindi Lestari X RPL 3)
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak dari Hang Mahmud. Mereka tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di sungai Duyung mendengar kabar tentang Teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya. Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu, “Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang sungguh besar, apalagi kita ini adalah orang miskin. Lebih mudah kita mencari pekerjaan disana”. Esok harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk kebutuhan sehari-hari.
Datanglah seorang pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang terluka bahkan mati karena ulah pemberontak. Gemparlah negeri Bintan tersebut dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seseorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah. “Hai Hang Tuah, kau akan mati jika tidak masuk ke kampung?” Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu, “Negeri ini memiliki prajurit yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya”.
Pemberontak yang datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah mengayunkan kapaknya ke kepala pemberontak, terbelah kepala pemberontak itu hingga mati. Maka seseorang yang menyaksikan peristiwa itu berteriak, “Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya kedatangan Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai lain yang iri hati pada Hang Tuah. Datanglah mereka pada sang Raja setelah diskusi usai.
Maka saat Baginda Raja mulai duduk di tahtanya bersama para bawahannya. Tumenggung beserta beberapa kawannya yang lain datang sambil berlutut.
Sambil bercerita bahwa kala itu pegawainya melihat Hang Tuah tengah bersama seorang gadis di istana yang mereka merencanakan sesuatu untuk kerajaan. Perempuan itu bernama Dang Setia.
Hamba takut ia akan melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba datang dengan dikawal untuk mengawasi. Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,”Pergilah, singkirkan ia.”
Maka Hang Tuah tidak lagi pernah terdengar di dalam negeri itu, namun Hang Tuah tidak pernah mati, karena selain perwira besar, ia adalah wali Allah. Kabarnya saat ini Hang Tuah berada di puncak dulu sungai Perak. Disana dirinya duduk menjadi raja dari segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyakan orang itu dan dia berkata,” Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”
“Saya tidak ingin mempunyai istri lagi, jawabnya.
Komentar
Posting Komentar